Minat Baca Penduduk Indonesia Rendah: Mitos atau Fakta?
Minat baca di Indonesia telah menjadi topik yang sering dibahas. Dari pembahasan topik ini, banyak orang yang sudah mengetahui bahwa minat baca di Indonesia menempati peringkat cukup rendah. Hal itu sudah dijelaskan dalam beberapa studi penelitian tentang minat baca negara-negara dunia
Studi pertama dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) pada 2015 silam. Kemudian yang kedua studi World Most Literate Countries yang dilakukan oleh Presiden Central Connecticut State University (CCSU), John W Miller pada Maret 2016.
Bayangkan saja, menurut studi yang dilakukan PISA terhadap anak berusia 15 tahun yang dipilih secara acak, Indonesia menempati 62 dari 70 negara pada kategori umum, yaitu Performa dalam Sains, Membaca, dan Matematika. Sedangkan pada kategori Membaca saja, Indonesia berada di peringkat 44 dari 70 negara.
Setelah satu tahun berlalu, minat baca di Indonesia tetap tidak mengalami kenaikan. Hal ini ditunjukkan oleh studi yang dilakukan oleh CCSU di mana Indonesia menempati posisi yang lebih buruk, yaitu peringkat 60 dari 61 negara. Miris sekali, bukan?
Selama bertahun-tahun, penelitian-penelitian ini telah menjadi tolok ukur bagi orang Indonesia dalam menilai minat baca di negara ini, terutama penelitian CCSU. Namun, apakah benar minat baca penduduk Indonesia memang rendah? Tapi bagaimana jika menilai minat baca berdasarkan besarnya minat penduduk itu sendiri terhadap literatur? Apakah hasilnya akan tetap sama?
Jika melihat antusiasme masyarakat terhadap bazar literatur, antusiasme itu tergolong tinggi. Sebut saja bazar buku terkenal seperti Big Bad Wolf (BBW), bazar buku yang ada setiap tahun ini selalu tinggi peminatnya hingga berlangsung selama berhari-hari secara nonstop. Pada 2018, setidaknya 9,3 juta buku berhasil dijual. Sedangkan pada 2019, sebanyak kurang lebih 2,5 juta orang mengunjungi bazar tersebut. Bahkan BBW yang dilangsungkan secara online pada April 2020 kemarin hanya berlangsung selama tiga hari karena buku telah terjual habis.
Belum lagi, menurut data yang dipublikasikan London Book Fair 2019, Indonesia adalah negara yang paling aktif menerbitkan buku di antara negara ASEAN lainnya. Setidaknya ada 30 ribu judul buku yang diterbitkan setiap tahunnya. Hal ini membuat Indonesia menjadi Market Focus dalam acara internasional tersebut dengan 12 penulis yang karyanya dipilih mewakili Indonesia dalam program sastra.
Sedangkan pada media online, seperti yang dikatakan oleh Imam Anshori, Pemimpin Redaksi Senayan Post, dalam diskusi Kebangsaan di Yogyakarta bertema Tantangan Media Massa di Era Industri 4.0, jumlah pembaca media online dalam kurun waktu antara 2011-2016 naik hingga 500 persen. Di saat yang sama, pembaca media cetak turun sebanyak 30 persen. Hal ini menggambarkan fenomena di mana masyarakat telah beralih menggunakan media online untuk mendapatkan informasi dan mulai meninggalkan media cetak. Berdasarkan survei yang dilakukan Nielsen Indonesia pada 2017, jumlah pembaca media online adalah 6 juta orang, yang lebih tinggi dari media cetak sebanyak 4,5 juta.
Pada penelitian yang dilakukan CCSU seperti yang dibahas sebelumnya, penelitian ini dilakukan berdasarkan faktor perpustakaan, peredaran surat kabar, pemerataan pendidikan, dan ketersediaan komputer. Pada faktor perpustakaan, CCSU mendata seberapa sering masyarakat suatu negara mengunjungi perpustakaan. Faktanya, di Indonesia perpustakaan masih belum banyak, terutama di kota-kota kecil. Apalagi mengenai akses, masih banyak sekali masyarakat yang kesulitan mencapai perpustakaan karena daerah tempat tinggal mereka.
Jika mengingat bagaimana budaya membaca yang dimiliki masyarakat Indonesia, seharusnya kita sadar bahwa nyaris semua orang Indonesia memiliki kebiasaan membaca buku tanpa datang ke perpustakaan. Orang Indonesia cenderung lebih memilih membeli buku di toko buku ataupun membeli saat ada bazar. Jangan lupakan mereka yang merupakan tim meminjam buku dari teman, keluarga, bahkan tetangga.
Maka dari itu, datang ke perpustakaan memang bukan budaya kita, sehingga kunjungan ke perpustakaan tidak bisa menjadi acuan dalam menilai minat baca masyarakat Indonesia. Selain itu membaca secara daring bisa saja menjadi pilihan terfavorit bagi banyak orang dibanding harus membeli surat kabar ataupun membaca buku.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, apakah minat baca di Indonesia masih bisa dikatakan rendah?
[tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”https://decode.uai.ac.id/?author=53″]Reporter: Vania Ramadhani[/tw-button] [tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”https://decode.uai.ac.id/?s=siti+masitoh”]Editor: Siti Masitoh[/tw-button]
[tw-social icon=”twitter” url=”https://twitter.com/deCODE_Magazine” title=”Follow our Twitter for more Updates!”][/tw-social] [tw-social icon=”instagram” url=”https://www.instagram.com/decodemagazine/” title=”Follow Our Instagram for more Updates!”][/tw-social] [tw-social icon=”facebook” url=”https://www.facebook.com/Decode-Magazine-1895957824048036/?hc_ref=ARQllNXfRdmjk9r__uOAjkB4vJc2ohjO-3fMBz5-Ph_uF74OzCx-zYf-biULGvQzGWk&fref=nf” title=”Follow our facebook for more Updates!”][/tw-social]