Budaya Era Post Modern Dalam Masyarakat
Hari ini adalah dimana kemudahan bisa di dapat oleh semua orang. Contohnya informasi. Informasi tentang makanan, pakaian, minuman, sebuah tempat bahkan keadaan individu atau masyarakat. Dapat dengan mudah mengetahuinya seolah-olah merasakannya secara langsung. Semua di dapat dengan cepatnya arus informasi yang di dukung oleh teknologi.
Teknologi yang memberikan kecepatan sebuah informasi. Ternyata mampu memberi pengaruh. Pengaruh tersebut terletak pada perhatian masyarakat yang sangat cepat berubah dan teralihkan. Dampak tersebut dapat di lihat dari budaya massa yang ada di masyarakat. Budaya massa adalah budaya yang miskin rangsangan dan tantangan intelektual, namun kaya fantasi dan ilusi kesenangan. Ia adalah kebudayaan yang kehilangan semangat pemikiran dan penciptaan yang autentik, namun sebaliknya membawakan semangat dan demokrasi (Medhy Aginta Hidayat, 2017: 113). Khalayak budaya massa adalah para konsumen pasif, individu-individu yang rentan terhadap manipulasi dan bujukan media massa, tunduk pada daya tarik hasrat untuk selalu dan selalu membeli, menikmati kesenangan semu konsumsi massa dan merupakan objek eksploitasi komersial. Inilah massa yang nyaris tanpa pikiran, tanpa kemampuan berefleksi, tanpa kemampuan bernalar kritis, selain hasrat yang besar untuk mengonsumsi dan mengonsumsi (Medhy Aginta Hidayat, 2017: 113). Dalam pengertian lain, budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar massal. Budaya massa, dengan demikian tidak berbeda denga metamorfosis komoditas dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat (Strinati, 1995: 10).
Fenomena ini bisa kita lihat dari apa yang menjadi fokus tren di dalam masyarakat. Seperti yang di lihat di beberapa media sedang tren sepatu. Maka hampi seluruh masyarakat akan mengikuti tren sepatu entah mereka butuh atau tidak. Ini terjadi karena industri sepatu mengeluarkan produk terbarunya. Dan apabila produk telah di buat maka di butuhkan konsumen. Untuk menarik perhatian konsumen industri sepatu di bantu media massa cetak dan virtual. Dalam Memperkenalkan produk terbarunya bahkan industri sepatu melalui media massa. Mampu untuk mempengaruhi keinginan masyarakat yang menjadi konsumen. Dalam menentukan apa yang di konsumsi dan apa yang tidak di konsumsi. Masyarakat mengalami manipulasi kesadaran oleh industri sepatu. Entah masyarakat yang menjadi konsumen menyadarinya atau tidak. Dalam fenomena ini masyarakat terpaku oleh barang-barang terbaru untuk membelinya dan lupa bahwa mereka belum tentu membutuhkannya.
Kenyataan ini di perkuat oleh budaya populer di dalam masyarakat. Strinati (dalam Medhy Aginta Hidayat, 2017: 107) Budaya populer adalah sebuah kategori bagi budaya rendah (lowbrow culture) yang biasa dibedakan dengan budaya tinggi (highbrow culture). Budaya populer, atau dalam pengertian awalnya biasa disebut budaya rakyat (folk culture), lahir dari bawah, dari rakyat kebanyakan, sementara budaya tinggi, di bentuk dari atas, dari kalangan aristokrat. Budaya populer ditandai oleh sifatnya yang massal, terbuka untuk siapapun dan lebih mengakar kepada khalayak pemiliknya. Sementara budaya tinggi dicirikan oleh sifatnya yang khusus dan tertutup, terbatas bagi kalangan tertentu dan tidak mengakar ke bawah. Budaya massa dan budaya populer mendapat batasan oleh Mac Donlad sebagai berikut:
Mac Donald (dalam Medhy Aginta Hidayat, 2017: 108) Budaya rakyat tumbuh dari bawah. Ia adalah ekspresi spontan dan orisinal dari rakyat yang di buat oleh mereka sendiri, yang relatif di buat tanpa bantuan Budaya Tinggi, untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Budaya Massa sebenarnya ditumbuhkan dari atas. Ia di produksi oleh tenaga-tenaga teknis yang dipekerjakan oleh produsen; khalayaknya adalah konsumen-konsumen pasif, di mana partisipasi mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Budaya rakyat adalah milik rakyat sendiri, kebun mungil pribadi mereka yang dipisahkan dari kebun besar Budaya Tinggi. Namun Budaya Massa merobohkan dinding pemisah ini, menyatukan massa ke dalam Budaya Tinggi yang telah diturunkan statusnya dan kemudian menjelma menjadi instrumen dominasi politik.
Ketika pemisahan budaya tinggi dan budaya itu melebur terjadi perubahan struktur di dalam masyarakat. Strinati (dalam Medhy Aginta Hidayat, 2017: 110) Dengan industrialisasi dan urbanisasi serta perkembangan teknologi percetakan, secara perlahan terjadi proses transformasi sosial. Perubahan ini di dorong oleh, di satu sisi, perkembangan teknologi mekanik berskala massal dan peningkatan populasi penduduk di kota-kota beasr yang menyebabkan perubahan pola hidup dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Saat menjadi masyarakat industri masyarakat menjadi cenderung mengejar keuntungan. Dalam rangka mencapai kesenangan dengan cara membeli barang-barang yang dilahirkan oleh industri. Dan menjadi hedonisme karena menyandarkan kebahagiaan pada barang-barang yang di belinya. Masyarakat menjadi terperangkap dalam pragmatisme yang dilakukannya terhadap diri sendiri.
Fenomena ini terjadi di masyarakat karena adanya perubahan motif dalam mengonsumsi. Yang semula mengonsumsi sebuah barang karena nilai guna dan nilai tukar. Yang artinya masyarakat mengonsumsi karena ada manfaat dan harga pada suatu barang. Seperti sebuah sepatu memiliki manfaat untuk menjadi alas kaki. Agar terlindung dari kuman, kotoran, debu dan mencegah luka. Dan harga dari sebuah sepatu dapat menjadi keuntungan ekonomis. Yang menjadikan pembeli sepatu dapat menjualnya kembali dan mendapatkan uang. Bahkan nilai tukar dapat menjadi amalan sosial karena membantu ekonomi seseorang melalui barang yang di jualnya. Menjadi nilai tanda dan nilai simbol yang mengonsumsi dengan motif ekspresi diri, kemewahan, gaya hidup, status dan rasa hormat.
Fenomena ini merubah sebab masyarakat mengonsumsi barang industri. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan mencukupi diri. Namun untuk memuaskan hasrat yang pada barang konsumsi. Seperti yang mudah di lihat di sekitar kehidupan perkotaan banyak orang yang memiliki sesuatu lebih dari satu. Seperti ponsel, jam tangan, dompet dan hal lainnya. Yang sebenarnya bisa memiliki cukup satu barang untuk berbagai aktivitas. Di sisi lain barang yang di konsumsi kini mampu menentukan kelas sosial seseorang dan kelompok berdasarkan merk yang dikenakan.
Masyarakat kini memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang di bentuk oleh industri. Dan bukan kebutuhan-kebutuhan yang di bentuk oleh dirinya sendiri. Padahal kebutuhan-kebutuhan yang di bentuk oleh industri hanyalah sebuah ilusi. Yang di perkuat oleh perlbagai media sehingga mempengaruhi alam bawah sadar. Bahwa masyarakat sebagai konsumen harus memiliki semua barang yang di keluarkan oleh industri. Sehingga masyarakat menjadi mengikatkan diri dan menilai segalanya pada benda-benda.
Pada akhirnya masyarakat terjebak oleh ilusi yang tidak berkesudahan. Sehingga tidak sadar bahwa hidupnya di giring kesana kemari oleh industri. Sehingga membeli apa pun yang ada di pasar industri. Tidak menyadari bahwa dirinya hanya memperkaya industri.
Sumber Bacaan:
Hidayat, Medhy Agnita. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Post Modernisme Jean Baudrillard. 2017. Yogyakarta: JALASUTRA
[tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”http://decode.uai.ac.id/?s=Dahlan+khatami”]Penulis: Dahlan khatami[/tw-button]