December 18, 2024

deCODE

Progressive News & Creative Magazine

Ketika Demokrasi di Ujung Tanduk, Solidaritas Harus Dibentuk

sumber foto: Sefhia Riana

“SIAPA KITA?! INDONESIA!”

Seruan itu lantang terdengar memekakan telinga dan nurani setiap demonstran di depan gedung DPR RI. Bernaungkan panas terik cahaya matahari dengan poster berisi tuntutan dan sindiran diacung, dada membusung, emosi membara, dan niat yang mulia, orasi-orasi penuh semangat bergaung berapi-api menyiratkan luka dan patah hati. Semua bersatu, sebagai bangsa Indonesia yang geram menyaksikan para pemimpin semena-mena merenggut demokrasi rakyat demi kepentingan para penguasa.

Pada Senin, 16 September 2019 di depan gedung DPR RI Jakarta telah dilaksanakan aksi unjuk rasa oleh ratusan mahasiswa dan masyarakat dari berbagai kelompok serta golongan yang menuntut pemerintah untuk menunda Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Sebab, banyak pasal yang disusun oleh pemerintah dalam RKUHP tersebut dinilai mencederai nilai demokrasi dan dianggap sebagai pasal ngawur. Pasal-pasal yang mengundang kotroversi dikutip dari nasional.tempo.co sedikitnya, yaitu:

  1. Pasal 67, 99-101 RKUHP tentang hukuman mati, karena setiap orang berhak diberi masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati, tidak boleh bergantung pada keputusan hakim.
  2. Pasal 167 RKUHP draft 28 Agustus 2019 tentang pengaturan makar, yang cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat bagi masyarakat ataupun pers.

  3. Pasal 218-220 RKUHP tentang penghinaan presiden, Pasal 240-241 tentang penghinaan pemerintah yang sah, Pasal 353-354 tentang penghinaan Kekuasaan Umum/Lembaga Negara, yang sebelumnya sudah dihapus oleh MK karena pada masa kolonialisme digunakan untuk mengatur masyarakat pribumi yang dilakukan oleh penjajah Belanda dan tidak sesuai untuk masyarakat demokratis.

  4. Pasal 304 RKUHP tentang Tindak Pidana terhadap Agama, karena jauh dari standar Pasal 20 ICCPR yang mengatur konteks pelarangan propaganda kebencian, serta hanya melindungi agama tang dianut di Indonesia.

  5. Pasal 417 ayat (1) tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dan perempuan di luar perkawinan, sebab masyarakat menilai negara telalu jauh menggunakan hukum pidana untuk mencampuri hak konstitusional warga negara yang bersifat pribadi.

  6. Pasal 414-415 draft 28 Agustus 2019 tentang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan, pasal ini dinilai kontraproduktif dengan upaya penganggulangan penyakit HIV karena beberapa pandangan menyebut bahwa kondom adalah cara paling efektif untuk mencegah penyebaran HIV.

  7. Pasal 251, 470-472 RKUHP draft 28 Agustus 2019 mengenai Kriminalisasi terhadap setiap perempuan yang melakukan aborsi bahkan meski pelaku aborsi merupakan korban pemerkosaan ataupun wanita yang melakukannya karena alasan kesehatan, bahkan pasal ini bertentangan dengan Pasal 75 UU Kesehatan dan Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005.

  8. Pasal 604-607 RKUHP soal tindak pidana korupsi, yang tidak mengadopsi pengaturan khusus yang terdapat dalam UU Tipikor dan dalam RKUHP saat ini tidak ada pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.

  9. Pasal 599-699 RKUHP tentang tindak pidana pelanggaran HAM berat, di mana asas retroaktif pelanggaran HAM berat tidak diatur dalam buku 1 RKUHP sehingga tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya melekat di pengaturan UU No. 26 Tahun 2000. Jadi munculnya frasa Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RKUHP ditakutkan akan menghalangi penuntutan yang efektif.

  10. Pasal 188 tentang penyebaran ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme, di mana masyarakat menilai bahwa seharusnya tak perlu menyebut secara spesifik ideology tertentu dan berfokus pada pemidanaan karena adanya kekerasan yang mengancam harta dan manusia.

Gerakan ini menggabungkan seluruh elemen dan membentuk Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi (AMUK) dengan Astried Permata sebagai Koordinator Lapangan AMUK. Kemudian juga perwakilan dari Mahasiswa, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Serikat Buruh KASBI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Solidaritas Perempuan (SP), Serikat Pekerja SINDIKASI, Jaringan Korban Pengguna NAPZA, Sanggar SWARA, Kelompok Anarko, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), hingga Cania Citta dan elemen masyarakat lainnya turut hadir dan memberikan orasi.

sumber foto: Sefhia Riana

Di tengah orasi, ada mahasiswa dari suatu perguruan tinggi yang membacakan puisi mengenai mirisnya keadaan pemerintahan Indonesia saat ini: “Janji lagi, janji lagi, tapi tak pernah ditepati!” begitu sedikit bunyi dari puisi tersebut.

Selain itu pula terdapat mahasiswa lainnya yang menggebu-gebu mengajak para pengunjuk rasa terutama para mahasiswa untuk bersama menyanyikan lagu ‘Buruh Tani Mahasiswa’ dan disambut dengan nyanyian penuh semangat kuat dari seluruh demonstran yang ikut bernyanyi sembari meresapi makna setiap liriknya.

Mengutip dari orasi Ellena, Ketua Umum Serikat Pekerja SINDIKASI yang berkata, “Pemimpin kita, Presiden Jokowi yang katanya dari sipil, tidak sama sekali mewakili sipil. Bajunya sipil, wataknya militeristik. Bajunya sipil, tapi memusuhi rakyatnya sendiri!” Selain itu juga sering terdengar teriakan, “DPR fasis, anti demokrasi!” di kalangan demonstran khususnya mahasiswa.

Ujaran-ujaran tersebut dikarenakan pemerintah dianggap tidak melibatkan rakyat dalam membentuk Undang-Undang (UU) padahal pada dasarnya semua UU itu akan berdampak langsung kepada masyarakat.

Namun selain mengungkit tentang RKUHP dan segala kontroversinya, orator juga mengungkit tentang sikap pemerintah terhadap saudara kita di Papua yang mengalami ketidakadilan, seperti penangkapan dan pelumpuhan internet. Para demonstran mengungkapkan kemarahan, kekecewaan, dan solidaritas mereka terhadap peristiwa tersebut. Seharusnya pemerintah bersikap adil terhadap orang-orang Papua karena mereka juga merupakan bagian dari Indonesia dan tidak patut mendapatkan diskriminasi yang mirisnya, berasal dari para pemimpin bangsa.

Unjuk rasa ini dijaga dengan penjagaan sekitar 150 personel polisi. Menurut pengakuan seorang polisi yang tidak ingin disebutkan namanya, beliau yakin tidak akan terjadi kerusuhan. Para demonstran yang hadir tidak menunjukkan tanda-tanda agresifitas dan berunjuk rasa dengan tertib, bahkan hingga unjuk rasa berakhir tidak ada sedikitpun bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi yang berjaga.

Uniknya, ketika ditanya mengenai tanggapan beliau mengenai RKUHP, polisi tersebut berpendapat bahwa memang RKUHP yang dibentuk DPR terasa janggal dan aneh. “Pasal-pasalnya memang ada yang aneh menurut saya juga. Pantes aja didemo kayak gini.” ujar beliau dengan pembawaan yang santai dan ramah.

Perkataan beliau sedikit banyak membuka mata kita bahwa tidak selalu para polisi menjadi musuh demonstran yang menuntut keadilan dari para penguasa. Mungkin masih banyak polisi yang sebenarnya nuraninya berpihak kepada rakyat namun harus melawan karena tuntutan profesi.

sumber foto: Sefhia Riana

Aksi hari itu pun ditutup dengan sangat baik. Seluruh demonstran duduk melingkar bersama. Lalu perwakilan-perwakilan dari mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat sipil maju ke depan dan membacakan tuntutan mereka kepada pemerintah, di antaranya:

  • Menghentikan usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan.

  • Meminta pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, serta melibatkan seluruh pihak lembaga terkait dan masyarakat sipil serta DPR harus mengawal setiap proses tersebut. Setiap rapat substansi di pemerintah juga harus dapat diakses publik.

  • Menolak RKUHP sekadar dijadikan pajangan mahakarya bagi pemerintah Indonesia dan DPR yang saat ini dipaksakan pengesahannya karena legasi aturannya akan membawa kemunduran demokrasi Indonesia dan peradaban yang mengjinjak-injak kemanusiaan. Kami kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menyerukan, “Tunda RKUHP! Tunda demi semua! Hapus pasal ngawur!”

Astried berkata bahwa aksi unjuk rasa ini akan terus berlangsung hingga suara mereka didengarkan oleh pemerintah. “Jaga semangat ini. Jaga amarah ini. Sampaikan ke teman-teman kita bahwa aksi ini akan terus berlanjut, bahwa kita akan terus berisikin dewan yang di gedung DPR, Dewan Penindas Rakyat. Kita akan terus berisikin mereka supaya sekali-sekali mendengarkan suara kita, suara rakyat.”

“Marilah kawan mari kita kabarkan. Di tangan kita tergenggam arah bangsa. Marilah kawan mari kita nyanyikan sebuah lagu tentang pembebasan. Di bawah kuasa Tirani kususuri garis jalan ini. Berjuta kali turun aksi. Bagiku satu langkah pasti.” Marjinal – Buruh Tani Mahasiswa

[tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”https://decode.uai.ac.id/?author=53″]Reporter: Vania Ramadhani[/tw-button]

[tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”https://decode.uai.ac.id/?s=karinaclarasaty”]Editor: Karina Clarasaty[/tw-button]

[tw-social icon=”twitter” url=”https://twitter.com/deCODE_Magazine” title=”Follow our Twitter for more Updates!”][/tw-social] [tw-social icon=”instagram” url=”https://www.instagram.com/decodemagazine/” title=”Follow Our Instagram for more Updates!”][/tw-social] [tw-social icon=”facebook” url=”https://www.facebook.com/Decode-Magazine-1895957824048036/?hc_ref=ARQllNXfRdmjk9r__uOAjkB4vJc2ohjO-3fMBz5-Ph_uF74OzCx-zYf-biULGvQzGWk&fref=nf” title=”Follow our facebook for more Updates!”][/tw-social]

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.