Coronavirus: Katastrofe Beruntun bagi Indonesia
Coronavirus tengah menjadi topik hangat sekaligus mimpi buruk bagi seluruh penduduk dunia. Begitupun dengan Indonesia yang merasa corona adalah katastrofe beruntun tak terhindarkan. Pemerintah Indonesia yang berbulan-bulan menyangkal hadirnya virus tersebut di Tanah Air akhirnya mengakui kehadirannya. Sekarang sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya di kota-kota besar harus merasakan karantina diri dari dunia luar. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dan mencegah membeludaknya jumlah pasien terpapar virus corona, Covid-19.
Sekolah diliburkan dan siswa tingkat akhir menerima kelulusan dari rumah. Para mahasiswa melakukan sidang skripsi melalui sambungan video call. Kemudian para karyawan bekerja dari rumah, bahkan perusahaan ojek online tak lagi menyediakan jasa mengantar penumpang dengan motor. Penggalakkan cuci tangan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan #dirumahaja menjadi asupan pokok masyarakat setiap harinya. Perlu diketahui bahwa Indonesia telah menjadi salah satu tuan rumah bagi kematian tertinggi akibat Covid-19 di Asia Tenggara.
Angka positif dan kematian terus melonjak, memicu deklarasi darurat kesehatan nasional dan penerapan pembatasan sosial. Pembatasan perjalanan komersial entah darat, laut maupun udara kini berlaku. Lalu peralatan baru pendukung medis diimpor, hingga ada upaya memproduksi peralatan pelindung diri untuk paramedis dan ventilator untuk para pasien. Pemerintah juga telah menyiapkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi warga berpenghasilan rendah sebesar 600 ribu perbulan.
Namun, langkah pemerintah yang dianggap lambat dalam menangani krisis membuat keadaan semakin buruk dan memberi efek domino di berbagai aspek. Misalnya, penundaan pendistribusian peralatan pengujian ke laboratorium regional. Hal itu mengurangi efektivitas alat tersebut sehingga penularan hanya bisa dibendung jika dilengkapi fasilitas isolasi massal untuk pasien di kota padat penduduk. Kemudian adanya penghindaran lockdown yang diserukan oleh Presiden Joko Widodo. Hal itu dilakukan agar tidak berdampak pada sektor ekonomi informal yang mencakup 60 persen pekerja. Namun, akhirnya pemerintah menyarankan untuk bekerja dari rumah.
Faktanya, saran itu hanya dapat diadopsi oleh pegawai perkantoran (formal). Sementara para pekerja informal yang tidak menerima pendapatan dan bantuan pemerintah terpaksa pulang ke kota asalnya. Pulangnya mereka ke daerah itulah yang memicu adanya penyebaran virus ke wilayah baru. Meskipun sudah begitu dihindari, perekonomian Indonesia tetap terguncang. Dampak bagi perekonomian Indonesia di antaranya:
- Sampai 11 April, lebih dari 1,5 juta karyawan putus kerja atau PHK dan dirumahkan. 1,2 juta pekerja formal dan 265.000 pekerja informal.
- Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia berada di level 45,3 pada Maret 2020. Hal itu terjadi karena merosotnya daya beli masyarakat selama pandemi dan merupakan yang terendah selama sembilan tahun terakhir.
- Lebih dari 12.703 penerbangan domestik dan internasional di 15 bandara dibatalkan sepanjang Januari dan Februari. Hal itu menyebabkan sektor pelayanan udara kehilangan pendapatan sekitar Rp 207 miliar. Dengan nilai Rp 48 miliar yang disebabkan oleh penerbangan dari China.
- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia memperkirakan adanya penurunan tingkat okupansi pada 6.000 hotel. Penurunan tersebut dapat mencapai 50 persen, dan bisa memengaruhi turunnya devisa pariwisata negara. Bahkan, angka turis pun menurun 6.800 per hari, terutama turis asal China.
- Inflasi yang terjadi pada bulan Maret 2020 tercatat sebesar 2,96 persen year on year (yoy). Hal itu disebabkan oleh kenaikan harga emas perhiasan dan beberapa harga pangan.
Komunikasi pemerintah dalam penanganan kasus Covid-19 sejak awal sudah dianggap tidak acuh bahkan terkesan menyepelekan. Pemerintah kerap kali membuat pernyataan nyeleneh, seperti pernyataan Presiden bahwa jamu bisa mencegah penularan virus corona. Kemudian pernyataan Menteri Kesehatan bahwa doa adalah kunci untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu juga pemerintah cenderung menutupi hal-hal mengenai corona dengan alasan menghindari kepanikan massal. Bahkan, publik tidak lagi tahu harus memercayai siapa ketika data antara pemerintah pusat dan daerah berbeda. Situasi itu akhirnya menimbulkan kesangsian publik terhadap pemerintah.
“Kepemimpinan pada masa krisis menjadi kunci penanganan Covid-19 di Indonesia. Kepemimpinan harus tegas (firm) dan mengutamakan kekuatan logika. Sementara di Indonesia, hanya karena menghindari kepanikan masyarakat, akhirnya masyarakat juga tidak bisa menangkap situasi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Masyarakat akhirnya ikut menyepelekan,” kata Hurriyah, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia dalam diskusi bertajuk “Penanggulangan Covid-19: Perspektif Governabilitas dan Decisiveness Otoritas” . Diskusi diadakan oleh Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) yang dikutip dari kompas.id.
Kesangsian publik tertanam semakin dalam setelah berbagai pernyataan pemerintah semakin membingungkan, entah inkonsisten ataupun saling bertolak belakang. Seperti kebijakan terkait mudik dan pulang kampung. Presiden dan Menteri Perhubungan memiliki pemahaman yang berebeda terkait mudik dan pulang kampung. Padahal hal ini akan berhubungan langsung dengan kebijakan tentang mudik di tengah pandemi. Sementara kebijakan mengenai PSBB adalah contoh inkonsistensi pemerintah. PSBB baru berlaku di sejumlah daerah, tapi pemerintah telah berencana melonggarkan PSBB tanpa landasan data yang kuat.
Mengutip pernyataan tertulis dari Koalisi Masyarakat Sipil pada 8 Mei 2020, koalisi menilai pemerintah semakin nyata mengkhianati semangat konstitusi yang mengamanatkan melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, melindungi setiap nyawa warga negara.
Hubungan pemerintah dan masyarakat memang memburuk karena kekecewaan yang menumpuk. Namun, sisi bajik tidak lantas tercabik. Nyatanya, masyarakat berbondong-bondong menolong dan mendukung satu sama lain tanpa pandang bulu. Mereka berdiri secara mandiri. Mengimbangi tak berdayanya pemerintah mengurus krisis yang menghampiri bertubi-tubi, banyak masyarakat yang inisiatif membantu untuk menghadapinya. Misalnya, terdapat polwan yang sengaja menyumbangkan gaji mereka. Bukan hanya itu, terdapat orang yang sengaja membagikan handsanitizer di lampu merah. Pada dasarnya, bukan hanya pemerintah yang harus bergerak. Sebab, hanya membutuhkan satu kalimat sederhana untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik: kemanusiaan.
[tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”https://decode.uai.ac.id/?author=53″]Reporter: Vania Ramadhani[/tw-button] [tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”https://decode.uai.ac.id/?s=siti+masitoh”]Editor: Siti Masitoh[/tw-button]
[tw-social icon=”twitter” url=”https://twitter.com/deCODE_Magazine” title=”Follow our Twitter for more Updates!”][/tw-social] [tw-social icon=”instagram” url=”https://www.instagram.com/decodemagazine/” title=”Follow Our Instagram for more Updates!”][/tw-social] [tw-social icon=”facebook” url=”https://www.facebook.com/Decode-Magazine-1895957824048036/?hc_ref=ARQllNXfRdmjk9r__uOAjkB4vJc2ohjO-3fMBz5-Ph_uF74OzCx-zYf-biULGvQzGWk&fref=nf” title=”Follow our facebook for more Updates!”][/tw-social]