Kim Ji Young 1982 “Sulitnya Menjadi Perempuan”
- Judul buku: Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982
- Penulis: Cho Nam-joo
- Alih bahasa: Iingliana
- Editor: Juliana Tan
- Ilustrator: Bella Ansori
- Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
- Cetakan pertama, 18 November 2019
- 192 halaman
Kim Ji Young 1982 adalah salah satu buku kontroversial yang terbit pada tahun 2016 di Korea Selatan. Buku Kim Ji Yoeng 1982 mencoba membongkar praktik misoginis yang kerap kali di alami perempuan. Melalui buku ini penulis mengemukakan bagaimana sulitnya terlahir sebagai perempuan ditengah budaya patriarki yang kental. Rasanya terlahir sebagai perempuan seperti kutukan. Usaha apapun yang bisa dilakukan perempuan tidak akan pernah dianggap. Semua yang bisa dilakukan perempuan adalah percuma, karena anggapan bahwa perempuan memang tidak bisa hebat daripada laki laki.
Buku ini membuka pikiran kita tehadap kesetaraan gender dan feminisme. Banyak pesan yang mendalam disampaikan dalam buku ini. Yuk simak ulasannya berkut ini.
Kim Ji Young di Tengah Budaya Patriarki
Kim Ji Yeoun adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia memiliki kakak perempuan dan adik laki laki. Kim Ji Young lahir dari keluarga yang mengharapkan anak laki laki. Selama masa anak anak hingga remaja Kim Ji Yeong dan kakaknya selalu mendapat perlakuan yang berbeda dengan adik laki lakinya. Kim Ji yeong dan kakaknya dituntut untuk selalu membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah sedangkan adik laki lakinya tidak.
Perbedaan antara laki laki dan perempuan yang dialami Kim Ji Young bukan hanya terjadi dalam lingkungan keluarganya. Pada masa sekolah hingga bekerja Kim Ji Young dan perempuan lainnya kerap mengalami perbedaan perlakuan dengan laki laki. Saat itu laki laki diperbolehkan mengenakan kaus lengan pendek dan sepatu olahraga karena kewajaran. Anak laki laki dianggap tidak akan bisa diam lalu akan bermain speak bola, basket, bisbol dan melompat ke sana kemari. Berbeda dengan perempuan yang dilarang mengenakan kaus lengan pendek, dilarang menggunakan sepatu olahraga dan harus menggunakan rok selutut. Perempuan seolah olah tidak boleh bergerak bebas dengan nyaman seperti laki laki. Bukan hanya itu, Kim Ji Young juga pernah dimarahi ayahnya karena ia memakai rok pendek dan mengambil kursus yang jauh dari rumah sehingga ada laki laki yang menganggunya.
Kelanjutan sulitnya menjalani hidup sebagai perempuan dialami Kim Ji Yeong hingga lulus kuliah. Ia sempat kesulitan mendapatkan pekerjaan karena sedikit sekali perusahaan yang menerima perempuan. Hingga akhirnya Kim Ji Young mendapatkan perkerjaan, tidak berarti praktik patriarki yang dialaminya berhenti. Kim Ji Young kesulitan untuk mendapatkan promosi jabatan di tempat ia bekerja. Hal tersebut terjadi karena perempuan akan banyak mengambil cuti melahirkan dan dianggap tidak akan berkerja dengan maksimal. Laki laki lebih mudah mendapatkan promosi jabatan. Hal tersebut kerap terjadi meski sebenanya perempuan juga mampu bekerja dengan maksimal.
Diam Bukanlah Jalan keluar
Kisah Kim Ji Young tidak pernah lepas dari kesan yang mengharuskan perempuan mengalah dengan laki laki. Setelah menikah ia harus menuruti permintaan suaminya untuk segera memiliki anak karena tuntutan orangtuanya. Kim Ji Young enggan bersuara untuk berdiskusi dengan suaminya tentang tuntutan tersebut. Suaminya menganggap dengan memiliki anak urusan dengan orangtuanya akan selesai. Setelah melahirkan anak perempuan, Kim Ji Young justru mengalami depresi hebat. Depresi yang dialaminya terjadi karena ia harus megasuh anak dan melepaskan karir yang di impikannya.
Kim Ji Young tumbuh besar dengan budaya patriarki yang kental, hingga kadang ia menganggap bahwa perempuan memang harus selalu mengalah. Anggapan tersebut kerap kali membungkam hak kesetaraan gender. Perempuan sering kali ragu untuk bersuara memperjuangkan haknya. Memang perlu diakui bahwa setiap pilihan yang diputuskan perempuan tidaklah mudah. Namun diam bukanlah jalan keluar yang terbaik. Kisah Kim Ji Young adalah salah satu penggambaran perempuan di tengah budaya patriakri yang harus kita akhiri.
[tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”http://decode.uai.ac.id/?s=Maulani+Mulianingsih”]Penulis: Maulani Mulianingsih[/tw-button] [tw-button size=”medium” background=”” color=”blue” target=”_blank” link=”http://decode.uai.ac.id/?s=Halimah+Saadiyah”]Editor: Halimah Saadiyah[/tw-button]
[tw-social icon=”twitter” url=”https://twitter.com/deCODE_Magazine” title=”Follow our Twitter for more Updates!”][/tw-social] [tw-social icon=”instagram” url=”https://www.instagram.com/decodemagazine/” title=”Follow Our Instagram for more Updates!”][/tw-social] [tw-social icon=”facebook” url=”https://www.facebook.com/Decode-Magazine-1895957824048036/?hc_ref=ARQllNXfRdmjk9r__uOAjkB4vJc2ohjO-3fMBz5-Ph_uF74OzCx-zYf-biULGvQzGWk&fref=nf” title=”Follow our facebook for more Updates!”][/tw-social]