Sesuatu yang Agung Dari Cinta – “Ikhlas”
Seketika aku teringat kala itu. Waktu di mana aku menentukan sebuah pilihan yang dilontarkan oleh lelaki di depanku itu. “Ya, baiklah aku menyetujuinya”, begitu kata ku, dengan sedikit senyum yang mengambang di bibirku.
Tak tahu bahwa jawaban itu akan membuatku seperti ini, ya seperti sekarang ini. Setelah jawaban yang kuberikan, semua berubah kembali seperti saat aku bersamannya dulu. Entah apa yang membuatku menyetujuinya, mungkin karena aku tidak ingin menyakitinya pada detik itu. Atau mungkin aku tak punya pilihan untuk mengatakan tidak.
Maaf jika akhirnya mungkin tak sesuai dengan hubungan yang kau inginkan, karena keterpaksaan ini. Andai saja kamu mau bersabar sebentar, membiarkan waktu yang menanganinnya. Andai saja kamu punya kekuatan untuk membiarkan diriku pergi sejenak. Biarkan kisah kita saat itu terhenti, dan biarkan waktu memulai kisah kita kembali jika waktu mengizinkan.
Tahu kah kamu yang melelahkan ketika berpura-pura mencintainya kembali? Yaitu berpura-pura bahwa kamu bahagia dengan segala aturannya. Aku belajar satu hal dari apa yang telah kubuat. Ketika seseorang memutuskan suatu pilihan yang dibuat oleh lawanya, hanya akan ada 2 hal yang terjadi. Yang pertama, kamu menyakitinya namun kamu bahagia dengan pilihanmu, atau yang kedua, kamu membuatnya bahagia dan membuat dirimu sakit.
Teori itu aku dapatkan ketika aku membuat sebuah keputusan. Keputusan yang menurutku tidak sepadan. Kamu tahu kenapa aku bilang seperti itu? Karena pilihaan-pilihan atas keputusanku itu hanya dibuat oleh dia.
Mungkin aku terlalu sombong jika menyebut diriku rela berkorban untuk dirinya. Namun, begitulah sepertinya. Aku rela untuk memupuk segala kata demi kata yang ingin kusampaikan padanya. Aku tak mau membuatnya merasa sakit untuk kesekian kalinya. Merasa sakit dengan kata-kata yang akan kukatakan. Dengan kata-kata ‘tidak’ yang akan ku bicarakan.
Biarlah, untuk saat ini aku yang membuatmu bahagia. Perihal hatiku tak usah kau pikirkan. InsyaAllah aku ikhlas.
Reporter: Nur Syifa Buchis | Editor: Sasya Semitari P & Galih Perdana