April 20, 2024

deCODE

Progressive News & Creative Magazine

JUST FRIENDS

2 min read
Just Friends

Sumber Foto: deviantart

Saat ini aku sedang meringkuk di atas tempat tidurku, memikirkan perasaan aneh yang akhir-akhir ini sering aku rasakan. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya ketika aku berada di dekatnya. Terkadang aku juga merasakan pipiku terasa panas dan mungkin semerah tomat ketika Ia sedang mengusikku dengan candaannya. Jika menurut novel-novel yang aku baca, itu tandanya aku sedang blushing.  Aku hanyut dalam pikiranku. Saat ini di kepala ku kembali terulang beberapa kejadian yang pernah aku alami dengannya. Dan perasaan aneh itu lagi-lagi datang disusul dengan seulas senyuman lebar yang kini tercetak di wajahku.

Ditemani dengan sang keheningan, aku mencoba menelaah mengenai perasaanku kepadanya. Dan sebuah pikiran yang selalu aku hindari, mencoba menyelinap ke dalam kepalaku. Entah keajaiban dari mana, otak dan hatiku kini sependapat. Dan pendapat itu berusaha aku singkirkan jauh-jauh. Otak dan hatiku berpendapat bahwa aku menyukainya. Aku terdiam, dan menatap langit-langit kamarku. Tiba-tiba saja bayangan wajahnya yang sedang tersenyum kepadaku kembali membuat hatiku berdebar. Aku ingin menepis perasaan ini, tetapi entah mengapa sangat berat melakukan hal itu.

Tiba-tiba saja, sang keheningan menyadarkanku bahwa perasaan yang aneh ini tidak boleh tumbuh dan berkembang. Mungkin perasaan ini adalah bibit di mana aku menyukainya. Dan aku sadar bahwa tidak seharusnya aku memiliki perasaan itu kepadanya. Aku dan dia hanya sebatas sahabat. Dan Ia juga berkali-kali mengingatkanku akan hal itu. Pikiranku kembali berkelana, dan aku teringat mengenai salah satu percakapanku dengannya,

“kamu sedang baca apa?” tanyanya

aku meliriknya sekilas kemudian mengangkat buku bacaanku, “novel.” ujarku.

“ceritanya mengenai apa?” tanyanya.

“seorang gadis dan pemuda yang awalnya sahabatan kemudian salah satu dari mereka memiliki perasaan lebih dari sahabat,” ujarku santai. Ia menaikkan sebelah alisnya dan menatapku.

“ada apa?” tanyaku bingung.

Ia tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya,

“tidak ada apa-apa. Aku hanya berpikir bahwa kita tidak akan mungkin berakhir seperti itu.” ujarnya dengan santai.

Aku berbohong jika mengatakan bahwa aku tidak terkejut mendengar ucapannya. Tetapi aku hanya bisa tersenyum lalu tertawa menanggapinya.

Mengingat ucapannya itu, tiba-tiba saja membuat perasaanku sesak. Tetapi, di sisi lain, hal itu membuatku tersadar bahwa aku tidak akan pernah bisa menggapainya. Aku dan dia hanya selayaknya bulan dan bintang, di mana mereka hanya bisa saling berdampingan tanpa bisa bersatu. Aku dan dia tidak akan pernah menjadi ‘kita.’

By: Jingga. | Editor: Sasya Semitari P & Galih Perdana

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.